Jumat, 04 November 2011

Implikasi Sosial-Birokrasi Tunjangan Profesi Pendidik

Catatan Sawali Tuhusetya



Sepanjang peradaban, peran guru tak pernah bisa terlupakan dalam memori sejarah. Guru diyakini selalu berada di garda depan dalam setiap perubahan. Guru menginspirasi. Sosoknya menjadi demikian penting dalam setiap dinamika zaman. Ketika Jepang (nyaris) luluh-lantak akibat Perang Dunia II, konon Kaisar Jepang bertanya kepada Jenderal Angkatan Perang-nya, “Berapa jumlah guru yang masih tersisa?” Tentu saja, sang jenderal terkejut. Kenapa tidak bertanya berapa jumlah prajurit yang masih tersisa? Sang Kaisar agaknya sadar benar bahwa untuk membangun masa depan sebuah bangsa, peran guru tak bisa diabaikan, apalagi dikebiri. Tak berlebihan jika pada akhirnya Jepang tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang maju, beradab, dan berbudaya.

sertifikasiLantas, bagaimana dengan Indonesia? Sejak negeri ini merdeka, posisi guru selalu terpinggirkan dan terkebiri. Peran mereka hanya diakui sebatas jasanya yang besar dalam mencerdaskan bangsa. Secara sosial, guru selalu berada dalam “kasta” yang amat rendah, sampai-sampai dengan nada perih, Iwan Fals pernah menggambarkan sosok guru tak lebih dari “Oemar Bakri” yang hidup tersisih dan mengundang iba. Bertahun-tahun lamanya, guru hidup di tengah kepungan budaya materialistik dan hedonistik; budaya yang mengagungkan gebyar duniawi dan gaya hidup mewah.

Di tengah gempuran budaya semacam itu, guru terus hidup bertahan dengan sikap “nrima” dan bersahaja. Sungguh beralasan kalau pada akhirnya guru menjadi profesi yang terpinggirkan dan tak pernah dilirik oleh generasi muda sebagai pilihan hidup. Walhasil, formasi guru hanya diisi oleh mereka yang gagal bersaing mendapatkan kursi perguruan tinggi bergengsi yang menjanjikan harapan hidup. Dengan kata lain, pilihan hidup menjadi seorang guru lebih disebabkan lantaran “keterpaksaan” dan “ketersesatan” setelah kalah bersaing menjadi calon mahasiswa jurusan non-keguruan. Kalau toh ada calon mahasiswa yang benar-benar tulus ingin menjadi guru sebagai “panggilan hidup”, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Itu pun rata-rata berasal dari daerah pedesaan yang sejak kecil telah ditempa dengan keterbatasan dan kebersahajaan hidup. Akibat atmosfer budaya yang memosisikan guru pada aras yang amat rendah, guru, disadari atau tidak, telah terstigma sebagai sosok yang lemah, gampang diperdaya, manutan, serba sendika dhawuh, dan tak memiliki posisi tawar.

Komitmen Politik
Posisi sosial guru mulai berubah setelah era reformasi bergulir. Kelahiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, setidaknya bisa menjadi bukti adanya kemauan dan komitmen politik penguasa untuk menjadikan guru sebagai profesi yang diapresiasi keberadaannya dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada pasal 2, misalnya, secara jelas dinyatakan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (ayat 1); dan pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik (ayat 2). Undang-undang tersebut juga telah dijabarkan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru.

Konsekuensi logis dari pengakuan guru sebagai tenaga profesional adalah meningkatnya kesejahteraan hidup sehingga benar-benar bisa total dan maksimal dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Guru tidak lagi repot memikirkan masalah “asap dapur” keluarga karena adanya tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok yang cukup menjanjikan. Dunia tidak lagi iba menyaksikan nasib guru yang terpaksa harus jadi tukang ojek atau penjual rokok ketengan akibat beratnya beban hidup yang mesti ditanggungnya.

Meski demikian, komitmen politik semacam itu, diakui atau tidak, membawa implikasi sosial yang cukup besar. Tunjangan profesi guru telah membuka celah “kecemburuan” sosial dan birokrasi berlebihan. Banyak kalangan menilai guru mendadak menjadi OKB alias orang kaya baru. Pasca-sertifikasi, guru bisa dengan mudah membeli mobil atau rumah baru. Ibarat “kere munggah bale”, gaya hidup guru berubah. Guru tidak lagi menjadi sosok yang bersahaja, tetapi telah larut dalam buaian budaya materialistik dan hedonistik. Tunjangan profesi dinilai telah membuat guru “kemaruk” dan suka pamer kemewahan.

Benarkah demikian? Sudah sedemikian silaukah para guru terhadap tunjangan profesi yang mereka terima sehingga harus menggadaikan idealismenya demi memenuhi hasrat hidup bermewah-mewah? Kalau toh memang benar demikian, cukupkah tunjangan profesi guru menjadi modal bagi mereka untuk memasuki “dunia baru” yang sarat dengan gebyar duniawi?

Agaknya terlalu naif mengidentikkan tunjangan profesi guru dengan kekayaan dan gaya hidup mewah. Taruhlah seorang guru dengan gaji pokok Rp2.500.000,00. Lantas, dengan persetujuan keluarga menyisihkan tunjangan profesinya setiap bulan ke sebuah bank. Butuh waktu berapa tahun untuk bisa membeli mobil atau rumah baru? Adakah jaminan bahwa tabungan mereka tak pernah terusik untuk menutupi berbagai kebutuhan hidup yang lain, entah itu langganan koran, akses internet, biaya kuliah anak, atau berbagai kebutuhan penunjang profesinya sebagai seorang guru?

Kecemburuan sosial agaknya juga mulai merambah ke ranah birokrasi melalui berbagai kebijakan dengan dalih demi meningkatkan profesionalisme guru. Penambahan beban kerja guru, misalnya, sesungguhnya bukanlah solusi tepat untuk meningkatkan profesionalisme guru. Sebelum program sertifikasi guru diluncurkan, jumlah jam wajib mengajar guru sebanyak 18 jam tatap muka perminggu. Pasca-sertifikasi, jumlah jam mengajar berubah menjadi 24 jam tatap muka. Guru yang tidak bisa memenuhi, terancam dicabut hak tunjangan profesinya. Kini, muncul lagi wacana untuk menambah beban jam mengajar guru menjadi 27,5 jam setiap minggunya.

Posisi guru bakal makin tidak nyaman apabila Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya benar-benar diberlakukan secara efektif. Intinya, agar bisa naik pangkat, selain harus memenuhi jumlah angka kredit kumulatif yang dipersyaratkan, seorang guru juga harus memenuhi jumlah minimal angka kredit yang diwajibkan dari sub-unsur Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan, yang meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau karya inovatif. Jika selama 5 tahun tidak bisa naik pangkat, tunjangan profesi pendidik terancam akan dicabut.

Efek Administratif
Penambahan beban kerja guru sesungguhnya hanya bisa memberikan efek administratif, tetapi sama sekali tidak berimbas positif terhadap peningkatan profesionalisme guru, baik pada kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, maupun sosial. Jangankan 27,5 jam, 24 jam saja guru seringkali gagal dalam mengimplementasikan pembelajaran secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik sebagaimana diamanatkan PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Bagaimana mungkin pembelajaran kreatif dan mencerdaskan semacam itu bisa terwujud kalau guru tak pernah memiliki kesempatan untuk meng-upgrade kemampuan diri akibat banyaknya beban mengajar yang mesti diselesaikan? Walhasil, guru tak lebih dari seorang tukang yang asal jadi dan seadanya dalam menyelesaikan produk pesanan. Miskin hati dan sentuhan seni, sehingga gagal memberikan inspirasi kepada peserta didik. Sungguh akan sangat berbeda apabila jam kerja guru 18 jam, misalnya. Mereka bisa menyusun skenario pembelajaran yang lebih kreatif dan mencerahkan, mengimplementasikannya secara menarik, menilai pembelajaran secara sahih, dan menindaklanjutinya dengan penuh kesungguhan.

Jika penambahan beban mengajar guru terus berlanjut, maka impian untuk melahirkan generasi masa depan yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika. Program sertifikasi dengan berbagai modus kebijakan birokrasi yang rumit hanya akan melahirkan guru-guru tukang yang miskin kreativitas dan inovasi.

Demikian juga munculnya Permenpan Nomor 16 Tahun 2009 yang akan mencabut tunjangan profesi pendidik jika selama 5 tahun guru tidak bisa naik pangkat. Kebijakan ini makin membuktikan kurang konsistennya antara Peraturan Pemerintah (PP) dengan UU sebagai payung hukumnya. Bukankah pasal 40 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh (a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; (b) penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; (c) pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; serta (d) perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual?

Sebagai tenaga profesional yang berdiri di garda depan dalam dunia pendidikan, guru memang harus andal dan benar-benar tampil profesional sehingga mampu melahirkan generasi masa depan yang cerdas dan berkarakter. Mereka harus selalu memiliki kesempatan untuk meng-upgrade kemampuan diri sehingga sanggup menjadi guru inspiratif, bukan sekadar guru kurikulum yang tugas kesehariannya hanya dibatasi tembok ruang kelas. Hal itu bisa terwujud jika atmosfer dunia pendidikan benar-benar berpihak pada guru untuk menjadi tenaga profesional; kreatif, inovatif, mandiri, merdeka, nyaman, terbebas dari rasa takut dan tertekan.

Jangan sampai dunia pendidikan kita terjebak menjadi pendidikan “gaya bank” –sebagaimana yang pernah dikhawatirkan oleh Paulo Freire– yang mendesain peserta didik bagaikan robot dan menjadi penghafal kelas wahid akibat dididik oleh guru bergaya tukang yang miskin kreasi dan inovasi akibat banyaknya beban mengajar dan selalu berada dalam situasi tertekan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar